Jumat, 29 Juli 2011

Review: The Footprints of God

Ketika Kehidupan Manusia Dipertaruhkan Oleh Sebuah Mesin
By : Efrita Sari


……… .“Seberapa dekat Trinity menjadi kenyataan?”
……… . “Saat ini ada sebuah prototipe di laboratorium kami dengan seratus dua belas triliun koneksi dan memori yang hampir tak terbatas.”
“Apakah itu berfungsi?”
“Tidak.”
“Mengapa tidak?”
“Karena meskipun kamu berhasil memasukkan sebuah neuromodel ke dalam komputer, bagaimana cara bicaranya dengannya? Otak manusia berinteraksi dengan dunia melalui tubuh biologis dengan lima indra. Bayangkan otakmu dimasukkan ke sebuah kotak. Otak itu tuli, bisu, buta, dan lumpuh. Ketakutan yang sangat hebat. Dan untunglah Tuhan menciptakannya demikian. Karena sekali mesin seperti itu bisa bicara¬¬¬—dan mendengar dan bergerak—tidak terbayangkan apa yang akan dilakukannya.”

Itulah beberapa kutipan dialog dari sebuah buku berjudul “The Footprints of God” karya Greg Iles. Buku dengan 574 halaman ini sungguh sangat memukau.
Kisah dalam buku ini diawali dengan kematian Dr. Andrew Fielding, Pemenang Nobel bidang fisika kuantum — kolega dari Dr. David Tennant di sebuah laboratorium tempat penggarapan proyek Trinity. Trinity adalah sebuah superkomputer yang memiliki kemampuan intelegensi buatan—superkomputer yang dapat melampaui kekuatan pikiran manusia. Trinity sendiri dibuat dengan memasukkan sebuah neuromodel ke dalam sebuah komputer. Sebuah neuromodel adalah seseorang yang diambil sistem sarafnya. Trinity dirancang oleh enam ilmuwan terkemuka Amerika, Andrew Fielding dan Dr. David Tennant adalah beberapa diantaranya.

Kematian Dr. Andrew Fielding membuat kecurigaan di hati Dr. Tennant. Agen pemerintah mengatakan bahwa kematian Andrew Fielding disebabkan oleh stroke. Namun Tennant— seorang profesor etika di University of Virginia Medical School, curiga kalau temannya itu sengaja di bunuh. Karena beberapa minggu terakhir, Fielding telah memeriksa laboratorium Trinity, data-data komputer dan semua dokumen. Tennant curiga Fielding menemukan sesuatu. Dengan alasan itu jugalah Fielding dibunuh.

Kecurigaan Tennant semakin kuat ketika ia mendapat kiriman surat dari temannya yang telah tewas itu. Sebuah surat yang dikirim melalui jasa pengiriman itu menjadi awal dari semua petualangan Tennant. Dengan bantuan Lu Li — istri dari Fielding dan juga Dr. Rachel Weiss, psikiater yang menyelidiki mimpi-mimpi buruknya sejak ia bergabung dalam proyek Trinity, Tennant mengungkap tentang kematian Fielding dan juga fakta dibalik Trinity.

Untuk mewujudkan itu, sebuah perjuangan yang luar biasa dilakukan Tennant. Ia dan Dr. Rachel Weiss terpaksa harus melarikan diri ke berbagai belahan dunia untuk menyelamatkan nyawa mereka. Dalam pelarian itu, kesalahpahaman pun tak terelakkan. Tennant mencurigai kalau Rachel telah mengkhianatinya dengan membocorkan tempat persembunyian mereka kepada musuh.

Dengan berbagai upaya mereka menemukan fakta di balik proyek Trinity serta kekuatan dahsyat yang dimilikinya. Namun, Trinity telah diluncurkan, dan umat manusia kini menjadi sandera sebentuk kehidupan yang tak dapat dimusnahkan. Satu-satunya harapan untuk selamat ada pada hubungan yang mengejutkan antara Trinity dan pikiran David yang tersiksa. Masa depan umat manusia dipertaruhkan— dan sebuah kesalahan bisa berakibat pada kepunahan.

Buku yang diterjemahkan dari judul aslinya “The Footprints of God” diterbitkan pertama kali pada tahun 2003 oleh Pocket Star Books. Buku ini menjadi bestseller menurut versi The New York Times.

Beberapa komentar tentang buku ini:

Dan Brown — pengarang The Davinci Code : “Sebuah cerita yang benar-benar menghanyutkan….”

Kirkus Reviews : ” Sebuah awal yang luar biasa dan memukau….”

Sekilas tentang Greg Iles :

Greg Iles lahir di Stuttgart, Jerman, tapi menghabiskan sebagian besar masa kecilnya di Missisippi. Lulusan University of Missisippi, Greg adalah seorang gitaris dan vokalis untuk grup band Frankly Scarlet sebelum menerbitkan novel pertamanya, Spandau Phoenix, pada 1993. Tujuh dari delapan novelnya menjadi buku-buku paling laris versi New York Times. Ia tinggal bersama istri dan dua anaknya di Natchez, Missisippi, tempat ia menulis beberapa novelnya.



Kita harus berhati-hati untuk tidak menyamai intelektual Tuhan kita
Albert Einstein

Segala sesuatu kembali kepada sang Satu. Ke mana sang Satu kembali?
Teka-teki Zen



THE END

Solok, 23 Juli 2011

0 komentar:

Posting Komentar